
Pada 30 Oktober 2019, IPS mengadakan untuk pertama kali webinar dengan topik terorisme. Awalnya, terdapat 90an peserta yang mendaftar. Seiring pelaksanaan kegiatan, terdapat 55 orang yang hadir pada webinar menggunakan aplikasi Zoom. Webinar dilaksanakan mulai pukul 19.00 hingga 21.00.
Kegiatan diawali dengan penyampaian materi mengenai teori, konsep, dan hasil-hasil riset mengenai terorisme. Moh Abdul Hakim, kandidat Ph.D. yang merupakan dosen Psikologi Universitas Sebelas Maret dan sekaligus editor jurnal nasional (JPS) dan internasional (AJSP) menyampaikan bahwa ada empat istilah penting yang perlu diperhatikan untuk menjelaskan terorisme, yaitu “aksi kekerasan, target sipil/tokoh, ada agenda tertentu, dan menimbulkan ketakutan.”
Muhammad Abdan Shadiqi yang menjadi moderator webinar menegaskan mengenai istilah penting “menimbulkan ketakutan” pada contoh kasus Bapak Wiranto yang ditusuk oleh Abu Rara dan istri. Meskipun target terorisme adalah tokoh politik pemerintahan, bukan sipil, namun yang perlu ditekankan adalah efek yang diharapkan oleh teroris adalah munculnya ketakutan. Ada perubahan target, jika dulu teroris menargetkan sipil dan orang asing, sekarang siapapun bisa jadi target baik aparat (polisi), tokoh nasional, dan tentu masyarakat sipil. “Keberhasilan sebuah aksi teror adalah menebarkan ketakutan” ujar Shadiqi.
Pada isu terorisme terdapat mitos-mitos yang perlu diluruskan. Hakim menjelaskan salah satu mitos yang harus diluruskan mengenai terorisme, yaitu mitos bahwa teroris mengalami gangguan jiwa, karena pada riset Hakim menemukan bahwa anak remaja 17 tahun yang menjadi radikal adalah orang yang biasa-biasa saja (lihat artikel ilmiah Hakim di sini). Mitos lainnya adalah teroris tidak hanya berasal dari orang miskin, contohnya adalah kasus bom bunuh diri keluarga di Surabaya, dimana pelaku memiliki rumah mewah dan perusahaan. Tidak semua pelaku teror adalah orang yang berpendidikan rendah, karena pelaku juga dapat berasal dari lulusan perguruan tinggi.
Hakim juga menjelaskan bagaimana pola dinamika faktor motivasional penyebab para teroris melakukan aksi radikal. Hakim mengutip hasil penelitian dari Yustisia dan kolega (2019, lihat artikel di sini), faktor yang dapat menstimulasi aksi teroris pada sampel narapidana teroris adalah adanya ancaman simbolik dan realistik. Ancaman ini kemudian mempengaruhi faktor lain, seperti rasa ketidakadilan dan keyakinan bahwa kelompok dapat mencapai tujuan (efikasi kelompok).
Webinar ini berujung pada penegasan mengenai hubungan antara agama dan terorisme. Klaim bahwa terorisme disebabkan oleh agama harus dipahami hati-hati, namun agama dapat membuat suatu aksi terorisme menjadi lebih berbahaya dibandingkan aksi-aksi teroris lain yang berlandaskan pada ideologi non-agama. Sederhananya, aksi terorisme berbasis agama lebih mematikan. Para teroris berideologi agama memiliki motivasi agama yang sangat kuat, bayangkan saja mereka berani melakukan bom bunuh diri hanya dengan “iming-iming” surga. Agama sendiri adalah keyakinan yang sulit digoyah, apalagi suatu hal yang berasal dari Tuhan secara langsung.
Webinar pertama ini merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh working group radikalisme dan terorisme yang diketuai oleh Joevarian Hudiyana. Menurut Joevarian, working group yang ia pimpin akan mengadakan workshop mengenai topik radikalisme, seperti pengukuran, profiling, deradikalisasi, hingga aksi preventif di tahun 2020. (DQ)