Menggagas Terrorism Early Warning Pasca Teror Jakarta

Mirra Noor Milla

BIN dan polisi dianggap kecolongan dalam peristiwa teror Jakarta 14 Januari lalu. Sebenarnya, kemungkinan terjadiserangan teroris di Indonesia sejak akhir tahun 2015 telah diungkapkan oleh  Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian. Kapan dan dimana serangan teroris dieksekusi menjadi sulit diprediksi karena Indonesia belum memiliki sistem deteksi dini ancaman terorisme atau Terrorism Early Warning System (TEWS). Kebutuhan akan TEWS saat ini menjadi penting disebabkan kelompok teroris telah semakin canggih menggunakan teknologi internet serta operasi yang bersifat global dan lintas negara. Pergerakan mereka tidak lagi memadai dideteksi melalui pengintaian secara fisik semata.

TEWS perlu karena adanya kebutuhan koordinasi dengan negara-negara lain tempat singgah anggota jaringan teroris. John P. Sullivan dan James J. Wirtz, yang mengganggas TEWS di USA, menjelaskan bahwa TEWS dapat menjembatani kesenjangan antara upaya organisasi penegak hukum domestik dan badan-badan intelijen asing untuk memerangi ancaman teroris. Konsep TEWS initelah diterapkan di USA sebagai respon atas serangan teroris 11 September. Dasar dari TEWS menurut Sullivan dan Wirtz adalah investigasi penghubung, komando terpusat, analisis dan sintesis yang mengarah pada konsekuensi manajemen dan didukung oleh forensic intelligence, serta epidemiological intelligence.

Terrorism Early Warning System (TEWS)

Sintesis dan analisis yang dilakukan dalam TEWS berdasarkan transaksi siklus analisis atau Transaction Analysis Cycle (TAC) yang meliputi analisis pengenalan tanda-tanda, analisis kecenderungan dan potensi, serta analisis kapabilitas dan intensi. Inti dari TEWS adalah proses mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber dan multidisiplin untuk kemudian dilakukan analisis yang terupdate tentang level bahaya teroris yang mengancam, baik ditingkat wilayah, lokal, nasional hingga regional.

Saya tidak akan membahas TEWS secara teknis dari sisi Ilmu Intelejen atau Keamanan, tapi saya akan menjelaskan urgensi TEWS dari perspektif Psikologi Sosial yaitu dinamika kelompok teroris, sesuai dengan bidang keahlian saya. Sebagai wacana TEWS penting untuk ditindaklanjuti. Serangan teror Jakarta berdasarkan pernyataan pihak berwenang, merupakan aksi yang didalangi oleh Bahrun Naim, kombatan asal Indonesia di Suriah melalui pesan media sosial Telegram (CNN Indonesia, Kamis, 14/01/201). Peristiwa tersebut kembali menunjukkan bagaimana media sosial dan  internet memainkan peran penting dalam penyebaran ideologi radikal.

Banyak orang percaya bahwa teroris menggunakan cara-cara canggih dalam perencanaan aksi hingga sulit dideteksi. Sebenarnya kelompok teroris justru menggunakan metode orang biasa, membaur di tengah masyarakat. Mereka menggunakan teknologi internet yang juga digunakan orang banyak, untuk rekrutmen, indoktrinasi, hingga berlanjut ke pembentukan sel-sel aktif. Semua itu dilakukan hampir sama persis dengan cara orang berjualan online. Bahrun Naim, bahkan memposting semua pesan-pesannya yang ditujukan kepada pada pendukung ISIS di internet, mulai dari strategi, cara merakit bom, meretas web dan lain-lain. Demikian juga dengan Oman Abdurrahamn, sang amir, sangat rajin mengunggah tulisan dan ceramahnya dalam blog pribadinya dari balik jeruji besi.

Tahapan Analisa TEWS

Langkah awal yang harus dilakukan dalam TEWS adalah mengidentifikasi para pendukung ISIS di Indonesia dan mereka yang telah tergabung di Suriah serta transaksi jejaringnya. Keberadaan kelompok ini dapat diidentifikasi dari ciri ideologinya. Kelompok ini merupakan kelompok yang mudah mengkafirkan, (takfiriyah). Tidak sependapat dengan kelompoknya dianggap kafir. Mereka juga cenderung ekslusif, tidak bersedia berbaur, bahkan dalam melakukan aktivitas ibadah seperti sholat berjamaah. Anggota kelompok pendukung ISIS di Indonesia hanya tunduk pada perintah Oman Abdurrahman.

Analisis tanda dan transaksi dapat dilakukan dengan mengumpulkan berbagai informasi tentang aktivitas kelompok yang tersedia di internet, data intelejen maupun data dari Kepolisian (Detasemen Khusus anti Teror). Data dari internet menjadi penting, karena keberhasilan kelompok ini dalam merekrut anggota banyak memanfaatkan teknologi internet.Para perekrut ISISer di Indonesia sangat piawai meretas web, dan sigap memanfaatkan komunitas-komunitas diskusi agama di social media.

Analisis transaksi dapat berguna untuk melihat pola relasi para pendukung ISIS yang tersebar dalam berbagai kelompok baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Para ISISer menyakini bahwa Suriah adalah “Syam”, kekhalifahan Islam yang dijanjikan akan muncul dan kembali berjaya di akhir jaman. Hal ini menjadikan para pendukung ISIS dengan berbagai upaya berusaha hijrah ke Suriah. Potensi dan kecenderungan meningkatnya ancaman teror dapat dianalisis dari proses mobilisasi para kandidat bergabung ke kelompok aktif.

Dari sisi kapabilitas, kelompok pendukung ISIS di Indonesia kebanyakan belum memiliki pengalaman tempur, berbeda dengan mantan kombatan Afghanistan dan Moro yang pernah melakukan aksi teror bom di Bali. Dalam hal ini, analisis intensi dan kapabilitas terhadap kelompok pendukung ISIS di Indonesia belum sampai ke level merah. Kehadiran mantan kombatan dari Suriah akan menjadikan kelompok pendukung ISIS di Indonesia menjadi semakin kuat, meningkat kapabilitasnya.Konsekuensinya kecenderungan dan intensi akan semakin meningkat.

Terorisme sebagai chaostic war

Akhirnya, terorisme sebagai chaostic war merupakan strategi perang dari kelompok-kelompok yang memiliki sumber daya terbatas dan tidak seimbang dengan lawannya. Motivasi dari kelompok ini bersifat hybrid,cross-category dari berbagai persoalan. Sehingga penanganan konflik jenis ini membutuhkan kerjasama dari semua pihak, mulai dari pihak berwenang, pengambil kebijakan dan para ahli. Baik di bidang hukum, sosial dan keagamaan, IT, politik, keamanan, serta intelejendalam satu lembaga yang mengelola data-data yang relevan dan ter-update untuk dilakukan  analisis secara berkala.

Saya jadi teringat kembali peristiwa awal tahun 2009, beberapa hari sebelum pelaksanaan eksekusi mati tiga terpidana Bom Bali di Lapas Batu Nusakambangan. Imam Samudra menyampaikan kepada saya yang saat itu tengah melakukan wawancara terakhir untuk penelitian disertasi saya, “berjihadlah melalui internet. Kuasailah internet untuk memenangkan peperangan”. Barangkali pesan yang sama juga disampaikan Imam kepada Bahrun Naim, pengikut setianya, yang diduga memiliki peran penting dalam aksi teror 14 Januari 2016. Sudah siapkah kita mengantisipasinya?